Oleh: Ery Santika Adirasa S.ST. M.Ag.
Sehubungan dengan pembahasan “Mengucapkan Selamat pada Acara Ritual Perayaan Non Muslim”, Nabi sallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلَا النَّصَارَى بِالسَّلَامِ
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian memulai orang-orang Yahudi dan Nasrani (dengan) memberi salam.” (HR. Muslim)
Hadis ini melarang kita memulai mengucapkan salam (السلام) kepada Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Kata as salam merupakan jawami’ al kalim pada hadis tersebut. Sebelumnya, perlu kita ketahui bersama, bahwasanya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam diutus dengan jawami’ al kalim, sebagaimana tersebut pada riwayat berikut,
بُعِثْتُ بِجَوَامِعِ الْكَلِمِ
“Aku diutus dengan jawami’ul kalim.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasai, Ahmad, & Tirmidzi)
Adapun maksud dari Jawami’ Al kalim pada hadis tersebut menurut para Ulama diantaranya Al Hafidz Ibnu Hajar r.a. ialah sebagai berikut,
وَجَوَامِعُ الْكَلِمِ: القُرْآنُ، فَإِنَّهُ تَقَعُ فِيهِ الْمَعَانِي الْكَثِيرَةُ بِالْأَلْفَاظِ الْقَلِيلَةِ، وَكَذَلِكَ تَقَعُ فِي الْأَحَادِيثِ النَّبَوِيَّةِ الْكَثِيرُ مِنْ ذَلِكَ.
“Dan jawami’ul kalim pada Al Quran sungguh maksudnya ialah makna yang banyak (luas), dengan lafadz yang sedikit (ringkas), dan demikian juga hal tersebut terletak pada banyak hadis-hadis Nabi.” (Fathul Bari)
Al Harawi r.a. menyatakan,
يَعْنِي: القُرْآن جَمَعَ اللَّهُ تَعَالَى فِي أَلْفَاظٍ يَسِيرَةٍ مِنْهُ مَعَانِيَ كَثِيرَةٍ، كَذَلِكَ كَانَ صَلَّى اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَكَلَّمُ بِأَلْفَاظٍ يَسِيرَةٍ تَحْتَوِي عَلَى مَعَانِيَ كَثِيرَةٍ.
“(Terkait) Al-Qur’an, Allah ta’ala mengumpulkannya dalam lafaz-lafaz yang ringkas darinya makna-makna yang banyak. Demikian pula Rasulullah sallallau a’laihi wasalam biasa berbicara dengan lafaz-lafaz yang ringkas tetapi mencakup makna-makna yang banyak.” (Hasyiyah As-Sindi)
Berangkat dari definisi tersebut, maka Jawami’ul Kalim adalah lafadz yang ringkas tapi penuh dan luas makna. Sehingga larangan mengucapkan salam di sini adalah termasuk jawami’ul kalim, mencakup semua makna kata as-salam, yang merupakan kata ringkas namun memiliki makna yang luas.
Pengertian Salam
Dalam Mu’jam Al Wasith (معجم الوسيط) ada beberapa makna tentang lafadz السلام tersebut, yaitu:
السَّلاَم: اسم من أَسمائِهِ تعالَى
1. As-Salam artinya salah satu dari nama-nama Allah ta’ala.
السَّلاَم: التسليم.
2. As-Salam artinya penyerahan diri.
السَّلاَم: التحِيَّة عند المسلمين
3. As-Salam artinya perhormatan sesama kaum muslimin, (Biasanya dengan mengucapkan “Assalamua’laikum” atau semisalnya).
السَّلاَم: السلامةُ والبراءة من العيوبِ
4. As-Salam artinya keselamatan dan terbebas dari hal yang cacat/buruk.
السَّلاَم: الأَمان و السَّلاَم و الصُّلْحُ
5. As-Salam artinya keamanan dan keselamatan dan perdamaian.
Dari makna-makna tersebut, maka larangan memulai mengucapkan salam pada hadis tersebut kepada Ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) tidak terbatas hanya pada mengucapkan “Assalamualaykum” atau semisalnya saja, tetapi juga yang mengandung semua makna dari kata as salam lain juga terlarang, seperti misalnya larangan mengucapkan selamat natal pada ritual kaum Nasrani atau agama lain selain Islam.
Imam Nawawi r.a. juga menyatakan pendapatnya tentang memberi salam kepada Non Muslim,
الصَّوَابُ أَنَّ ابْتِدَاءَهُم بِالسَّلَامِ حَرَامٌ
“Pendapat yang tepat (tentang hukum) memulai mereka dengan (ucapan) salam adalah haram.” (Aunul Ma’bud)
Ada sebuah kaidah Usul Fiqih:
أَصْلُ النَّهْيِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ كُلَّ مَا نَهَى عَنْهُ، فَهُوَ مُحَرَّمٌ حَتَّى تَأْتِيَ عَنْهُ دَلَالَةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ إِنَّمَا نَهَى عَنْهُ لِمَعْنًى غَيْرِ التَّحْرِيمِ.
“Dasar larangan dari Rasulullah sallallahu a’lahi wasalam adalah bahwa segala sesuatu yang beliau larang, maka itu haram, hingga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa beliau melarangnya untuk makna selain pengharaman.”
Adapun jika ada yang membolehkan ucapan selamat kepada Hari Raya Non Islam berdalil dengan ayat Al Quran ini ialah tidak tepat, yaitu firman Allah ta’ala:
وَالسَّلٰمُ عَلَىَّ يَوْمَ وُلِدتُّ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam 19: Ayat 33)
Keselamatan pada ayat tersebut adalah datang dari Allah‘, bukan dari ucapan selamat manusia. Kalaulah lafadz السَّلامُ (as salaam) pada ayat tersebut maknanya adalah ucapan selamat, kemudian diperuntukkan untuk siapakah ucapan selamatnya? Ayat tersebut menyatakan السَّلامُ عَلَيَّ ‘assalaamu alayya (kepadaku)’, berarti ucapan selamat seharusnya kepada Nabi Isa a’laihissalam bukan bermakna ucapan selamat kepada Hari Raya Natal kaum Nasrani, yang mana mereka berkeyakinan Nabi Isa a’laihissalam yang dalam keyakinan mereka sebagai anak Tuhan, tentunya hal ini memiliki perbedaan dengan keyakinan muslim, yang meyakini Nabi Isa a’lahissalam sebagai Rasul utusan Allah.
Oleh sebab itu Al Hafidz Ibnu Katsir r.a. dalam tafsirnya malah menjelaskan sebaliknya,
إِثْبَاتٌ مِنْهُ لِعُبُودِيَّتِهِ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَنَّهُ مَخْلُوقٌ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ يَحْيَا وَيَمُوتُ وَيُبْعَثُ كَسَائِرِ الْخَلَائِقِ، وَلَكِنْ لَهُ السَّلَامَةَ فِي هَذِهِ الْأَحْوَالِ الَّتِي هِيَ أَشَقُّ مَا يَكُونُ عَلَى الْعِبَادِ
“Hal ini membuktikan akan predikat dirinya sebagai hamba Allah azza wa jalla, dan bahwa Isa adalah seorang makhluk Allah yang hidup dan mati serta dibangkitkan sebagaimana makhluk lainnya. Akan tetapi, Isa diselamatkan dari semua fase tersebut yang merupakan fase-fase yang paling berat dirasakan oleh semua hamba Allah.” (Tafsir Al Qurnan Al Adzhim – Tafsir Ibnu Katsir)
Ayat yang semakna ini pun juga disematkan oleh Allah juga untuk Nabi Yahya Alaihissalam:
وَسَلٰمٌ عَلَيْهِ يَوْمَ وُلِدَ وَيَوْمَ يَمُوتُ وَيَوْمَ يُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam 19: Ayat 15)
Sehingga semakin jelas bahwa ayat di atas untuk nabi Isa dan juga nabi Yahya alaihimassalam, bukanlah dasar untuk menetapkan bolehnya mengucapkan selamat Natal.
Kesimpulan
Walhasil hukum mengucapkan selamat pada acara ritual/perayaan non muslim bagi muslim ialah terlarang.
Tulisan ini semata-mata dibuat dalam rangka saling berwasiat kebaikan kepada saudara sesama muslim. Seorang muslim juga harus meyakini bahwa berakhlak yang baik kepada non muslim, seperti berkata baik, berlaku adil, tidak menzalimi mereka, menunaikan hak mereka dalam mua’amalah, dalam bertangga, dan yang lainnya ialah boleh. Sedangkan bertoleransi dalam urusan agama telah jelas disebutkan dalam Al Quran:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِىَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun 109: Ayat 6)
Diterjemahkan dan diringkas di Singosari, Malang, Jawa timur, Indonesia, Selasa 30 Jumadal Akhir 1445 H (31 Desember 2024 M)
Oleh: Ery Santika Adirasa, S.ST, M.Ag.
Editor: Iskandar Zulqarnain, B.A., M.A.
Artikel hukumpolitiksyariah.com