Bahaya tidak Membayar Utang

Utang adalah “tanggungan hak yang harus dilunasi” [1]. Sedangkan orang yang memiliki tanggungan utang seolah menjadi tawanan, sebagaimana sabda Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنَّ صَاحِبَكُمْ مَأْسُورٌ بِدَيْنِهِ

“Sungguh teman kalian sedang tertawan dengan utangnya” [2]

Banyak pada masa ini manusia yang meremehkan perkara utang. Terkadang meminjam untuk kebutuhan penting, terkadang juga meminjam untuk kebutuhan yang sepele. Sebagian juga terus berutang hingga utangnya menumpuk sehingga kesulitan melunasinya.

Ketahuilah, bahwa siapa yang meninggal dalam keadaan belum melunasi utang, maka dia dalam keadaan bahaya. Disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, dari sahabat Tsauban r.a., bahwasanya Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَن فارق الروحُ الجسدَ وهو بريءٌ مِن ثلاث دخل الجنة: الكِبْر، والدَّيْن، والغلول

“Siapa yang rohnya meninggalkan jasadnya (mati) dan terlepas dari tiga perkara, maka dia masuk surga, yaitu: Sombong, utang dan ghulul” [3] (Ghulul adalah pencurian dana umum/korupsi)

Juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

نفس المؤمن مُعلَّقةٌ بدَيْنه حتى يُقضَى عنه

“Jiwa seorang mukmin tergantung dengan utangnya, sampai (utangnya) dilunasi.” [4]

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga, dari Muhammad bin Abdullah bi Jahsy r.a., dia berkata:

كنا جلوسًا بفناء المسجد حيث تُوضَع الجنائز، ورسول الله صلى الله عليه وسلم رأسُه إلى السماء، فنظر ثم طأطأ بصرَه، ووضع يده على جبهته، ثم قال: ((سبحان الله! سبحان الله! ماذا نزل من التشديد؟))، قال: فسكتنا يومنا وليلتنا، فلم نرَها خيرًا حتى أصبحنا، قال محمد: فسألتُ رسولَ الله صلى الله عليه وسلم: (ما التشديد الذي نزل؟)، قال: ((في الدَّيْن، والذي نفسُ محمدٍ بيده، لو أن رجلًا قُتل في سبيل الله ثم عاش، ثم قُتِل في سبيل الله تعالى، ثم عاش، وعليه دَيْنٌ، ما أُدْخِلَ الجنة حتى يقضى دَيْنَه

“Dulu kami duduk di pelataran masjid, di tempat diletakkannya jenazah. Saat itu kepala Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam dalam keadaan menghadap langit, melihat, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian meletakkan tangan di atas dahinya. Lalu beliau bersabda: “Maha Suci Allah! Maha Suci Allah! Betapa keras (wahyu) yang turun ini?” Maka kami hanya diam sehari semalam itu, dan tidak melihat kebaikan sampai pagi datang. (sahabat) Muhammad r.a. mengatakan: “Saya bertanya kepada Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: “Sesuatu yang keras apakah yang turun itu?” beliau bersabda: “Perkara utang, demi dzat yang Muhammad ada di tanganNya, jika saja seseorang terbunuh (jihad) di jalan Allah, lalu hidup lagi, kemudian terbunuh di jalan Allah, lalu hidup lagi, akan tetapi dia memiliki tanggungan utang, maka dia tidak akan masuk surga sampai utangnya dilunasi“”. [5]

Bahkan dulu Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam pernah tidak mau menyalati orang yang wafat dalam keadaan masih memiliki tanggungan utang. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dari Salamah bin Al Akwa’ r.a., dia berkata,

كنا جلوسًا عند النبي صلى الله عليه وسلم إذ أُتي بجنازة، فقالوا: صلِّ عليها، فقال: ((هل عليه دَيْنٌ؟))، قالوا: لا، قال: ((فهل ترك شيئًا؟))، قالوا: لا، فصلَّى عليها، ثم أُتي بجنازةٍ أخرى، فقالوا: يا رسول الله، صلِّ عليها، فقال: ((هل عليه دينٌ؟))، قيل: نعم، قال: ((فهل ترك شيئًا؟))، قالوا: ثلاثة دنانير، فصلِّ عليها، قال: ((صلُّوا على صاحبِكم))، قال أبو قتادة: صلِّ عليه يا رسول الله وعليَّ دينُه، فصلَّى عليه

“Dulu kami duduk bersama Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam ketika ada jenazah yang dibawakan. Mereka (para sahabat) berkata: “Tolong salatilah dia”. Lalu beliau (Nabi) bersabda: “Apakah dia memiliki (tanggungan) utang?”. Mereka menjawab: “tidak”. Beliau bertanya: “Apakah meninggalkan sesuatu?” Mereka menjawab: “tidak”, maka beliaupun menyalatinya. Lalu dibawakan jenazah lain, dan mereka berkata: “Hai Rasulullah, tolong salatilah dia”. Beliau bertanya: “Apakah dia memiliki (tanggungan) utang?” maka dikatakan: “Iya”. Beliau bersabda: “Apakah meninggalkan sesuatu?”. Mereka menjawab: “Tiga dinar, dan tolong salatilah dia”, dan beliau bersabda: “Salatilah kawan kalian” (Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam tidak mau menyalatinya). Abu Qatadah r.a. berkata: “Salatilah dia wahai Rasulullah, sedangkan utangnya saya tanggung”, maka beliaupun menyalatinya sallallahu ‘alaihi wasallam.” [6]

Juga dalam hadis yang diriwayatkan dalam dua kitab sahih Bukhari dan Muslim, bahwa,

أنَّ النبي صلى الله عليه وسلم كان يؤتى بالرجل المتوفى عليه الدَّين، فيسأل: هل ترك لدَيْنه فضلًا؟ فإن حدث أنه ترك لدَيْنه وفاءً صلى عليه، وإلا قال للمسلمين: صلُّوا على صاحبكم، فلما فتح الله عليه الفتوح، قال: ((أنا أولى بالمؤمنين من أنفسهم، فمَن تُوفي مِن المؤمنين فتَرَك دَيْنًا، فعليَّ قضاؤه، ومَن ترك مالًا فلورثتِه

“Sungguh didatangkan kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam seorang lelaki yang telah meninggal dalam keadaan menanggung utang. Kemudian beliau bertanya: “Apakah dia meninggalkan sisa utang?” Jika dia telah melunasinya maka beliau menyalatinya, dan jika tidak, maka beliau berkata kepada kaum muslimin: “Salatilah kawan kalian”. Kemudian setelah pembukaan-pembukaan (perluasan wilayah Islam), beliau bersabda: “Saya lebih utama dari kaum muslimin daripada diri mereka, maka barang siapa wafat dan meninggalkan tanggungan utang, maka ia wajib melunasinya, dan barang siapa meninggalkan harta, maka bagi ahli warisnya.”” [7]

Doa Agar Dimudahkan Melunasi Utang

Diantara doa yang diajarkan Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam agar seseorgan dimudahkan melunasi utang ialah,

اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ ۖ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۖ إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ رَحْمَنَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَرَحِيْمَهُمَا تُعْطِي مَنْ تَشَاءُ مِنْهُمَا وَتَمْنَعُ مَنْ تَشَاءُ, اِرْحَمْنِي رَحْمَةً تُغْنِيْنِي بِهَا عَنْ رَحْمَةِ مَنْ سِوَاكَ

“Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Engkau) Yang Maha pengasih di dunia dan akhirat, dan Yang Maha penyayang di dua negeri tersebut. Engkau memberi dari keduanya kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cegah orang yang Engkau kehendaki. Kasihilah aku dengan rahmat-Mu; di mana Engkau jadikan aku cukup dengannya dengan tidak membutuhkan kasih sayang dari siapapun selain Engkau.” [8]

Ath-Thabrani rahimahullah meriwayatkan dalam Al Mu’jam ash Shaghîr dari Anas Bin Malik r.a., ia berkata, bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Mu’adz r.a., “Maukah Aku ajarkan kepadamu sebuah doa yang bisa Engkau baca. Sekiranya Engkau mempunyai utang yang besarnya seperti gunung Uhud, pastilah Allah akan menunaikan utangmu?” Katakanlah wahai Mu’adz, … lalu Rasul sallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat 26 dari Surat Ali Imrân dan dilanjutkan dengan doa yang disebutkan di atas. [9]

Juga ada doa yang diajarkan oleh Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam agar seseorang dapat melunasi utang, yaitu,

اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

“Ya Allah, cukupilah aku dengan rezekiMu yang halal (hingga aku selamat) dari yang haram. Cukupilah aku dengan karuniaMu (hingga aku tidak meminta) kepada selainMu” [10]

Ini merupakan doa agung yang diucapkan oleh seseorang yang terlilit utang dan kesulitan untuk melunasinya. Apabila ia perhatian dan mengamalkannya doa ini, niscaya Allah akan memudahkannya untuk menyelesaikan utang berapapun besarnya, meskipun sebesar gunung (berdasarkan riwayat hadits tersebut).  Sebab, kemudahan bersumber dari Allah swt. Perbendaharaan kekayaan Allah swt. sangat melimpah-ruah tanpa batas, tidak terpengaruh oleh pengeluaran. Siapa saja yang berserah diri kepada Allah swt., niscaya Dia akan memudahkan dan menyelesaikan urusan sulitnya dan barangsiapa memohon pertolongan dariNya, maka Allah swt. akan membantu dan memberinya petunjuk.

Referensi:

[1] Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah (21/102)
[2] HR. Abu Daud no. 3341, sohih.
[3] HR. Ahmad, no. 22369, Tirmidzi, no. 1573, Ibnu Majah, no. 2412, sohih.
[4] HR. Ahmad, no. 9679, Tirmidzi, no. 1079, Ibnu Majah, no. 2413, sohih.
[5] HR. Ahmad (5/389), Nasa’i, no. 4684, dan Hakim (2/24), sohih.
[6] HR. Bukhari, no. 2289-2295, Nasa’i, no. 1960, Ahmad (4/47), Thabrani, no. 6290, Ibnu Hibban, no. 3264, sohih.
[7] HR. Bukhari, no. 2998, Muslim, no. 1619, Abu Daud, no. 2955, Nasa’i (4/66), sohih.
[8] Shahîh at-Targhîb wa at-Tarhîb, no. 1821, hasan. Lihat At- Targhîb wa at-Tarhîb hal. 734.
[9] HR. Thabrani dalam Al Mu’jam As Saghir, jayyid.
[10] HR. Tirmidzi dalam Shahihut Targhib, no. 1820, hasan.

Ditulis di:
Museum Internasional Biografi Nabi Muhammad saw. dan Peradaban Islam, Kerajaan Saudi Arabia, Rabu 19 Rabi’ul Awwal 1443 H (4 Oktober 2023 M)

Oleh: Iskandar Alukal
Artikel hukumpolitiksyariah.com


Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *