Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
هَلَكَ كِسْرَى ثُمَّ لَا يَكُونُ كِسْرَى بَعْدَهُ وَقَيْصَرٌ لَيَهْلِكَنَّ ثُمَّ لَا يَكُونُ قَيْصَرٌ بَعْدَهُ وَلَتُقْسَمَنَّ كُنُوزُهَا فِي سَبِيلِ اللهِ وَسَمَّى الْحَرْبَ خَدْعَةً
“Kekaisaran Persia (Sassaniyah) akan hancur dan tidak akan ada lagi Kekaisaran Persia setelahnya, (lalu) Kekaisaran Romawi (Timur) akan hancur dan tidak akan ada lagi Kekaisaran Romawi setelahnya. Hartanya pasti akan terbagi untuk jalan Allah. Dan peperangan disebut dengan tipuan” (HR. Bukhari no. 3027, sohih)
Penjelasan Hadis
Trik/tipuan (الخَدَعَة) adalah menampakkan sebuah perkara dan menyembunyikan maksud yang sebaliknya. Maksud lafaz الخَدْعَة ini dipakai untuk menggunakan trik sebisa mungkin saat peperangan terjadi; dengan tujuan kemaslahatan besar bagi kaum muslimin. Dan jika tipuan itu tidak bisa dilakukan, maka perang dilakukan secara terbuka atau langsung. Menggunakan akal, siasat, strategi, trik, dan tipuan untuk mengalahkan musuh lebih diutamakan, karena bahaya lebih besar pada peperangan terbuka dan secara langsung.
Diperbolehkan bagi muslim melakukan beberapa perbuatan saat berperang namun tidak diperkenankan melakukannya di luar perang, seperti berbohong dan menipu (الخُدْعَة) ketika diperlukan, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, bahwa peperangan adalah الخَدْعَة yang berarti tipuan.
Bisa diambil faedah dari hadis ini, supaya kaum muslimin berhati-hati dari tipudaya lawan, dan diperintahkannya menipu lawan ketika berperang. Jika trik/tipuan (الخَدْعَة) dalam hadis itu datang dari kaum muslimin, maka maksudnya supaya kaum muslimin menjalankannya walaupun sekali. Dan jika trik/tipuan itu dari lawan kaum muslimin, maka maksudnya ialah supaya kaum muslimin waspada dari tipu daya mereka walaupun sekali.
Menipu lawan kaum muslimin boleh dilakukan saat terjadi peperangan, kecuali untuk urusan perjanjian, kesepakatan atau keamanan, maka tidak biperbolehkan. [1] Hukum asal berbohong adalah haram dan termasuk dosa besar, namun ada beberapa pengecualian diperbolehkan bagi muslim melakukannya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلَّا فِي ثَلَاثٍ؛ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ لِيُرْضِيَهَا، وَالْكَذِبُ فِي الْحَرْبِ، وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ
“Tidak dihalalkan berbohong kecuali di tiga (keadaan): Ketika seorang suami berbicara kepada istrinya supaya dia ridha, berbohong saat perang, dan berbohong demi kebaikan/perdamaian manusia.” (HR. Tirmidzi no. 1939, sohih)
Maksud dari kebohongan yang diperbolehkan dalam perang bukanlah kebohongan murni, melainkan keringanan untuk bertauriyah atau ta’ridh (التورية أو التعريض), yaitu menampakkan ucapan yang seolah-olah berbeda dari sebenarnya, misalnya: “Pemimpin kalian telah wafat”, namun yang dimaksud dengan pemimpin di sini adalah pemimpin mereka di masa lalu, bukan yang sekarang. Bohong merupakan hal yang buruk, semua Nabi dan Rasul tidak pernah berbohong semasa hidupnya walaupun sekali. [2] Kemampuan menggunakan siasat ketika berperang merupakan salah satu faktor seorang pemimpin bisa terpilih, karena kekuatan dipakai sesuai keperluannya. [3]
Diterjemahkan, disusun & diringkas dari:
[1] Abul Fadhl Ibnu Ahmad bin Ali Ibnu Hajar Al Atsqalani. Fathul Bari Syarah Sohih Al Bukhari. Darul Ma’rifah – Beirut – 1379 H. 6/158.
[2] Muhammad bin Ahmad As Sarkhasy. Syarhus Siyar Alkabir. As Syarikah As Syarqiyyah Lil I’lanat – 1971 M. hal. 119.
[3] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. As Siyasah As Syar’iyyah Fi Islahirra’i Wa Arraiyyah. Dar Athaat Al Ilm. Cetakan 4 – 1440 H/2019 M. hal. 16.
Di Universitas Islam Madinah, Kerajaan Saudi Arabia, Sabtu 2 Sya’ban 1443 H (5 Maret 2022 M)
Oleh: Iskandar Alukal
Artikel hukumpolitiksyariah.com