Bagi wanita yang melahirkan lantas mengeluarkan darah nifas pada saat bulan suci Ramadan, apakah dia membayar fidyah atau mengganti puasa pada hari lain?
Menurut bahasa, “fidyah” berarti tebusan. Bila dikaitkan dengan puasa, maka kalimat ini maksudnya memberi makan kepada orang miskin sebagai ganti dari puasa yang ditinggalkannya.
Dasar adanya kewajiban membayar fidyah adalah firman Allah:
وعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (QS. Al Baqarah: 184)
Yang dimaksud dengan “الذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ” ialah berat menjalankannya itu antara lain: orang tua renta, orang sakit yang tidak segera sembuh [1], wanita hamil dan menyusui, sebagaimana diterangkan dalam beberapa riwayat berikut,
عَنْ أَنَسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ، وَعَنِ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
“Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dia bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggugurkan dari musafir separuh salat dan (kewajiban) puasa, dan telah menggugurkan (kewajiban) puasa dari perempuan hamil dan menyusui.”” (HR. An Nasa’i no. 2277, hasan)
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَوِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ تُفْطِرُ وَلَا تَقْضِي
“Dari Sa`id bin Jubair, dari Ibnu Abbas atau Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum, ia berkata: “Perempuan yang hamil dan perempuan yang menyusui (boleh) berbuka dan tidak mengqadha”.” (HR. Darul Quthni no. 2385, sohih)
Juga penjelasan dari sahabat Ibnu Abbas,
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: {وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ}، قَالَ: كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ، وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ، وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا، وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مسْكِينًا، وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا
“Dari Ibnu Abbas (tentang firman Allah) “wa alalladzina yuthiiquunahu fidyatun tha`amu miskin” adalah rukhshah (kelonggaran) bagi laki-laki tua dan perempuan tua, sedangkan mereka bisa berpuasa kecuali dengan susah payah, maka hendaknya mereka berbuka tetapi wajib bagi keduanya memberi makan seorang miskin (sebagai ganti) tiap-tiap hari (tidak berpuasa), dan juga bagi perempuan yang hamil dan menyusui apabila mereka berdua mengkhawatirkan (kesehatan) mereka.” (HR. Abu Daud no. 2318, sohih)
Berdasarkan riwayat-riwayat ini, perempuan yang hamil dan menyusui, mendapat rukhsah dibolehkan membayar fidyah sebagai ganti tidak menjalankan puasa Ramadan. Lalu persoalan yang muncul bukankah wanita yang nifas setelah melahirkan dalam keadaan menyusui juga? Lantas cukupkah dia membayar fidyah?
Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah
1. Wanita yang haid atau nifas dilarang berpuasa dan salat, dan menggantinya dengan qodho.
2. Wanita yang hamil dan menyusui mendapatkan rukhsah untuk tidak berpuasa tetapi menggantinya dengan membayar fidyah.
Dengan terkumpulnya dua hukum antara larangan (berpuasa ketika haid atau nifas) lalu menggantinya dengan qodho puasa dan kebolehan mengambil rukhsah karena hamil dan menyusui dengan (tidak berpuasa tetapi membayar fidyah) maka berlaku kaidah:
إِذَا اجْتَمَعَ مُبِيْحٌ وَحَاظِرٌ غُلِّبَ جَانِبُ الْحَاظِرُ
“Apabila terkumpul (pada suatu perkara) faktor yang menyebabkan hukumnya menjadi boleh dan faktor yang menyebabkan hukumya menjadi terlarang maka didahulukan sisi larangan.”
Ketentuan yang lebih utama (asli) bagi wanita haid adalah dilarang berpuasa dan ditetapkan mengganti puasa dengan puasa di hari lain (qodho), sebagaimana dalam hadits Mu’adzah, ia pernah bertanya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.
“Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ salat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?” Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.” Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ salat”.” (HR. Muslim no. 69)
Lantas dari mana kita menyamakan kedudukan hukum darah haid dan nifas? Hal ini dapat didasarkan dari sabda Nabi bagi wanita saat haji, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyamakan keduanya dengan sabdanya,
الْحَائِضُ وَالنُّفَسَاءُ إِذَا أَتَتَا عَلَى الْوَقْتِ تَغْتَسِلَانِ، وَتُحْرِمَانِ، وَتَقْضِيَانِ الْمَنَاسِكَ كُلَّهَا غَيْرَ الطَّوَافِ بِالْبَيْتِ
“Wanita-wanita nifas dan haid bila keduanya mendatangi miqat, hendaknya keduanya mandi dan berihram serta menunaikan manasik seluruhnya selain tawaf di Baitullah.” (HR. Abu Dawud no. 1744 sohih)
Juga disebutkan pada riwayat Aisyah ketika berhaji,
مَا لَكِ يَا عَائِشَةُ، لَعَلَّكِ نَفِسْتِ؟ قَالَتْ : قُلْتُ: نَعَمْ، وَاللَّهِ لَوَدِدْتُ أَنِّي لَمْ أَخْرُجْ مَعَكُمْ عَامِي هَذَا فِي هَذَا السَّفَرِ. قَالَ: لَا تَفْعَلِي، لَا تَقُولِي ذَلِكَ ؛ فَإِنَّكِ تَقْضِينَ كُلَّ مَا يَقْضِي الْحَاجُّ إِلَّا أَنَّكِ لَا تَطُوفِينَ بِالْبَيْتِ
“Wahai Aisyah! Apa yang terjadi denganmu? Pasti kamu sedang nifas (haidh)?” Dia berkata; saya menjawab; “Ya sungguh aku lebih memilih tidak keluar bersama kalian pada tahun perjalanan ini.” Beliau bersabda: “Jangan kamu lakukan dan katakan hal itu, karena engkau akan mengqadha sebagaimana yang diqadha oleh orang yang berhaji, hanya saja jangan bertawaf di Ka’bah.” (HR. Ahmad no. 26345, sohih)
Pada riwayat ini semakin jelas bahwa disamakanlah antara haidh dengan kalimat nifas, karena kalau kita simak:
مَا لَكِ يَا عَائِشَةُ، لَعَلَّكِ نَفِسْتِ؟
“Wahai Aisyah! Apa yang terjadi dengan mu? Pasti kamu sedang nifas?” Dalam hadis ini tidak mungkin diartikan nifas yang terjadi karena melahirkan, karena Aisyah radhiyallahu ‘anha belum pernah melahirkan, namun yang dimaksud adalah haid. Sehingga kedudukan hukum darah haid dan nifas adalah sama.
Sebagaimana kaidah yang telah disebutkan tadi jika terkumpul faktor yang menyebabkan kebolehan dan menyebabkan larangan, maka yang didahulukan sisi larangan. Maka tatkala wanita melahirkan atau nifas pada bulan Ramadan, mereka dilarang berpuasa dan juga shalat. Walaupun mereka menyusui, tetap harus mengganti puasanya pada hari lain, dan bukan membayar fidyah.
Kesimpulan
Wanita yang melahirkan lantas nifas pada saat bulan ramadhan, walaupun sedang menyusui, dia tetap mengqadha atau mengganti puasanya di waktu yang lain ketika telah mampu, bukan membayar fidyah, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan para wanita haid untuk mengqadha puasa mereka, sedangkan haid disamakan dengan nifas.
Wallahu A’lam.
Referensi:
[1] Abu Muhammad Al Baghawy. Ma’alimut Tanzil fi Tafsiril Qur’an. Dar Thaibah. Cetakan 4 tahun 1417 H – 1997 M. 1/197.
Diterjemahkan & disusun di:
Singosari, Malang, Jawa timur, Indonesia, Jumat, 29 Rajab 1443 H (2 Maret 2022 M)
Oleh: Ust. Ery Abu Nusaibah
Editor: Iskandar Alukal, L.c.
Artikel hukumpolitiksyariah.com
The quest for glory starts here – Join now! Lucky cola