Ibadah tidak sekedar dilaksanakan dengan mengandalkan kekuatan otot dan akal pikiran semata. Faktanya, ada manusia yang sehat fisiknya tetapi tidak kuat menjalankan puasa wajib, ada pula yang jenius otaknya tetapi enggan mendirikan shalat, karena ibadah sejatinya adalah pemberian taufik dari Allah ta’ala.
Makna at taufiq (التوفيق) yang secara tekstual berarti “persetujuan/kesesuaian” dalam Mu’jam Al Mu’ashiroh disebutkan bahwa taufiq berarti:
سدّ طريق الشّرّ وتسهيل طريق الخير “حالفه التّوفيق في عمله”
“Terhalang dari jalan keburukan dan dipermudah untuk menuju jalan kebaikan, misalnya: “Dia mendapatkan taufiq pada amalannya””, berarti dia dimudahkan menjalankan amal kebaikan.
Kemudahan menjalankan ibadah ialah semata pemberian Allah, bukan karena otot atau akal pikiran makhluk. Perkara ini Allah terangkan di dalam Al Quran, seorang Nabi berkata,
وَمَا تَوْفِيقِىٓ إِلَّا بِاللَّهِ
“Dan tidak lain taufiq-ku kecuali dengan (ijin) Allah.” (QS. Hud 11: Ayat 88)
Ayat tersebut menggunakan huruf istisna’ (pengecualian) yaitu dengan adanya huruf illa (إلا) pada kalimat. Lalu apakah yang dimaksud dengan istisna’ ini? Menurut Al Ashimiy rahimahullah, di dalam kitab Hasyiyah Al Jurumiyah beliau menerangkan:
الاستثناء لغة: مطلق الإخراج واصطلاحا: الإخراج بإلا أو إحدى أخواتها
“Istisna’ secara bahasa adalah pengecualian secara mutlak. Menurut istilah (nahwu), adalah pengecualian dengan menggunakan huruf إلاّ atau salah satu saudari-saudarinya.”
Berdasarkan definisi ini maka jika ada huruf istisna dalam suatu kalimat, maka ia disebut kalimat yang terkecualikan. Sehingga penjabaran makna ayat pada Surat Hud tersebut:
وَمَا تَوْفِيقِىٓ إِلَّا بِاللَّهِ
“Taufiq itu pengecualian yang hanya semata-mata datang dengan pemberian Allah”. Jika kita hari ini bisa menjalankan ibadah seperti shalat, puasa, sedekah dan lain sebagainya, maka bersyukurlah kepada Allah, karena itu adalah pemberian yang sangat mahal, sebuah anugerah yang disebut dengan hidayah taufiq. Karena hidayah memang wilayah Allah bukan wilayah manusia, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an:
إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِى مَنْ يَشَآءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sungguh, Engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk (hidayah) kepada orang yang Engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashas 28: Ayat 56)
Karena begitu mahalnya dan tak ternilai hidayah Allah, sampai-sampai Rasululullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan ibarat yang pantas untuknya dalam sabdanya,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
“Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (hidayah oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik daripada (mendapatkan) unta merah.” (HR. Bukhari, Muslim & Abu Daud)
Dalam kitab ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Daud diterangkan:
فمعنى حمر النعم أي: أقواها وأجلدها، والإبل الحمر هي أنفس أموال العرب.
“Adapun makna unta merah adalah unta yang paling kuat dan paling tahan, unta merah ialah harta paling berharga/istimewa bagi masyarakat Arab zaman itu.”
Hidayah yang lebih baik dari unta merah, bermakna bahwa hidayah berupa pemberian taufik dari Allah lebih baik daripada mendapatkan benda termewah di dunia, pada zaman manapun itu. Karenanya dengan hidayah tersebut kita bisa menjalankan amal ibadah seperti shalat, puasa, sedekah dan amal baik lainnnya, yang akan menghantarkan kita insyaAllah ke surga-Nya Allah yang dipenuhi dengan kenikmatan abadi.
Diterjemahkan, disusun & diringkas di:
Singosari, Malang, Jawa Timur Indonesia, Rabu 4 Jumadal Ula 1442 H (8 Desember 2021 M)
Oleh: Ery Abu Nusaibah
Editor: Iskandar Alukal, L.c.
Artikel hukumpolitiksyariah.com