Kewajiban Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Diantara sifat terpuji baginda Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ialah beramar ma’ruf nahi munkar. Amar artinya: menyuruh, ma’ruf artinya: kebaikan, nahi artinya: mencegah/melarang, munkar artinya jahat/keji, yaitu perintah menegakkan yang benar dan melarang yang salah, sebagaimana tersebut dalam firman Allah,

يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“… yang menyuruh mereka mengerjakan ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar, serta menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk …” (QS. Al A’raf: 157)

Ayat ini menjelaskan kesempurnaan risalah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, karena Allah yang memerintahkan manusia berbuat benar apapun bentuknya, dan melarang yang salah apapun bentuknya melalui lisan sang Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam.

Allah subhanahu wata’ala memberikan julukan umat terbaik bagi umat Islam, karena sifat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia ini melekat pada mereka. Allah berfirman,

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

Allah ta’ala juga berfirman,

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. At Taubah: 71)

Allah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar atas umat Islam, Ia berfirman,

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Allah ta’ala melaknat Bani Israel, menjauhkan mereka dari rahmatNya karena satu sama lain selalu tidak melarang tindakan keji & salah yang diperbuat, mereka membiarkan kejahatan dan kemaksiatan yang terjadi di sekitar mereka. Allah berfirman,

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ (78) كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ (79)

“Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. Al Maidah: 78-79)

Tingkatan Sikap Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Sikap amar ma’ruf nahi munkar memiliki beberapa tingkatan, sebagaimana sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam,

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

“Siapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, Abu Daud & Tirmidzi)

Amar ma’ruf nahi munkar terkadang dilakukan dengan hati, terkadang dengan lisan, dan terkadang menggunakan tangan, termasuk memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk tujuan kebaikan. Amar ma’ruf nahi munkar dengan hati dilakukan setiap saat, karena tidak ada efek mafsadat baik bagi diri sendiri maupun orang lain yang ditimbulkan karenanya, yang tidak mau menjalankannya bukanlah dia termasuk orang yang beriman, karena itulah bukti selemah-lemah iman seseorang sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam syariat, amar ma’ruf nahi munkar terbaik ialah berjihad di jalan Allah dengan mengorbankan jiwa dan harta untuk tegaknya kalimat Allah.

Tiga Golongan Penegak Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilakukan dengan cara yang salah apalagi munkar. Jika mengajak untuk melaksanakan perbuatan baik yang hukumnya sunnah/mustahab maupun wajib, muslim perlu menimbang efek yang akan muncul, lebih baikkah, atau lebih buruk karenanya. Karena amar ma’ruf nahi munkar, tidak seyogyanya timbul mafsadah (kerusakan) yang lebih besar daripada maslahat (perbaikan)nya, karena Allah ta’ala tidak menyukai kerusakan, dan semua perintahNya ialah bertujuan demi perbaikan. Allah berfirman,

وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al Baqarah: 205)

Pernah ada sebuah kejadian pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang menunjukkan supaya menimbang maslahat dan mafsadat tatkala beramar ma’ruf nahi munkar, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a. dia berkata,

بَيْنَمَا نَحْنُ فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. إِذْ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَامَ يَبُولُ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَهْ مَهْ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا تُزْرِمُوهُ دَعُوهُ» فَتَرَكُوهُ حَتَّى بَالَ، ثُمَّ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَاهُ فَقَالَ لَهُ: «إِنَّ هَذِهِ الْمَسَاجِدَ لَا تَصْلُحُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذَا الْبَوْلِ، وَلَا الْقَذَرِ إِنَّمَا هِيَ لِذِكْرِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالصَّلَاةِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ» أَوْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَأَمَرَ رَجُلًا مِنَ الْقَوْمِ فَجَاءَ بِدَلْوٍ مِنْ مَاءٍ فَشَنَّهُ عَلَيْهِ

“Ketika kami (para sahabat) di masjid bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui kemudian berdiri kencing di dalam masjid. Para sahabat Rasulullah langsung berkata: “Cukup! Cukup!”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: “Janganlah kalian potong dia, biarkanlah.” Maka mereka para sahabat membiarkannya hingga selesai kencing. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya dan berkata: “Sungguh masjid-masjid ini tidak sesuai dengan kencing seperti itu, tidak pula yang kotor, akan tetapi ia hanya untuk berdzikir (mengingat) Allah azza wa jalla, shalat, dan membaca Al Quran.” Lalu beliau memerintahkan seseorang untuk membawakan kaleng berisi air dan disiramkan padanya (kencingnya).” (HR. Bukhari & Muslim)

Pada kejadian ini, meskipun yang dilakukan oleh Arab Badui ialah kemungkaran yang jelas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak langsung melarang dan memarahinya, melainkan membiarkan Badui ini supaya menyelesaikan hajatnya, lalu dinasehati dengan cara baik. Karena kalau ketika Arab Badui sedang kencing lalu dimarahi, bisa jadi malah menimbulkan mafsadat yang lebih besar, bisa jadi ia kaget dan sakit, tercecernya air kencing ke tempat yang lebih luas, atau malah terhalangnya hidayah darinya untuk memeluk agama Islam lalu enggan mempelajarinya. Betapa bijak apa yang dilakukan oleh baginda Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam dalam beramar ma’ruf nahi munkar.

Penegak amar ma’ruf nahi munkar digolongkan menjadi tiga:

Pertama, ialah golongan yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, memerintahkan kebaikan dan mencegah kejahatan untuk menghilangkan fitnah (kesesatan) yang mereka anggap ada, namun tindakan mereka justru mengundang fitnah yang lebih besar, seperti yang mengaku diri mereka para pejuang perang, namun dilakukan kepada sesama umat Islam.

Kedua, ialah golongan yang berpangku tangan, mereka tidak menegakkan amar ma’ruf nahi munkar meskipun situasi mengharuskan, dengannya mereka telah terjerumus dalam fitnah (kesesatan), sebagaimana yang digambarkan dalam sebab turun surat At Taubah. Golongan kedua ini kebanyakan dari para ahli agama dan ibadah yang keliru memahami agama atau terseret syubhat dan hawa nafsu syahwat, padahal sebenarnya mereka hanya kabur dari peperangan. Demikian pula mereka yang ambisi mendapatkan harta dan jabatan, karena dorongan syahwat justru melakukan perkara yang mungkar dan tidak mengingkarinya demi mencapai tujuan yang diinginkan.

Ketiga, golongan benar ialah yang melaksanakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dengan menimbang kemaslahatan yang lebih besar dan baik. Jika memerintahkan yang ma’ruf, maka lebih besar perbaikan dan pahalanya, dan ia laksanakan. Jika mencegah yang keji, maka lebih besar perbaikan dan pahalanya, dan ia lakukan.

Setiap manusia yang hidup di muka bumi selalu mendapatkan perintah dan larangan, baik dari orang lain di sekitarnya, ataupun perintah dan larangan dari dirinya sendiri, harus pula ia memerintah dan melarang, baik untuk orang lain di sekitarnya, ataupun bagi anggota badan dirinya sendiri. Kendati seseorang sendirian, tetap ia wajib mengendalikan diri, memerintahkan anggota badannya mengerjakan perbuatan terpuji dan mencegahnya dari perbuatan keji & munkar. Karena setiap jiwa selalu mengajak melakukan keburukan, Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ

“Karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan” (QS. Yusuf: 53)

Sedangkan anak Adam tidak bisa hidup kecuali dengan bermasyarakat, makhluk sosial yang hidup bersama dan saling berinteraksi satu sama lain. Jika amar ma’ruf nahi munkar ialah sesuatu yang melekat pada jiwa anak Adam, maka yang tidak mau beramar ma’ruf nahi munkar menurut apa yang Allah dan RasulNya perintahkan, ia akan terseret pada perintah dan larangan lain yang bukan merupakan perintah dan larangan Allah dan RasulNya, melainkan dari anak Adam lain yang tidak mengetahui manakah kebaikan dan keburukan, atau justru perintah dan larangan setan yang menjadikan diri dan orang di sekitarnya melenceng jauh dari cara hidup yang benar.

Referensi:

 [1] Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah Al Hanbaly (wafat 728 H). Al Amru bil Ma’ruf Wan Nahyu Anil Munkar. Wizaratu As Syuun Al Islamiyah Wal Auqaf Wad Dakwah Wal Irsyad. KSA. Cetakan Pertama 1418 H.

Diterjemahkan dan diisusun di Banjararum, Singosari, Malang, Jawa Timur, Indonesia, Selasa, 21 Jumadal Ula 1442 H (5 Januari 2021 M)

Oleh: Iskandar Alukal, L.c.

Artikel hukumpolitiksyariah.com

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *