Keadilan merupakan jiwa Syariat Islam, keduanya tidak akan dapat dipisahkan. Syariat Islam diturunkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk menegakkan keadilan, merealisasikan ketentraman, melindungi hak-hak jiwa, akal, harta, harkat & martabat manusia, menjaga hak-hak publik, menumbuhkan rasa aman, menerapkan hukum beserta adab-adabnya, mendirikan batasan-batasan (hudud) Allah, menghidupkan nilai-nilai akhlak budi pekerti yang luhur, menjauhi permusuhan, melarang kedzoliman, menghukum kejahatan & kelaliman dengan segala bentuk dan jenisnya.
Islam secara khusus begitu memperhatikan keadilan. Para Nabi & Rasul diutus, kitab-kitab suci diturunkan, tidak lain ialah untuk menegakkan keadilan. Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al- Hadid: 25)
Juga tersebut dalam firman Allah Ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. An-Nisa’: 58)
Allah Ta’ala memerintahkan seorang muslim supaya tetap berlaku adil meskipun kepada kaum, golongan, atau kelompok yang dibenci olehnya, tersebut dalam firman Allah,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman jadilah kalian orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum, mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)
Allah Ta’ala tidak memuliakan sebuah bangsa yang tidak berlaku adil, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُقَدِّسُ أُمَّةً لَا يُؤْخَذُ لِلضَّعِيفِ فِيهِمْ حَقُّهُ
“Sungguh Allah tidak memuliakan sebuah kaum yang tidak mengembalikan hak-hak kalangan lemahnya” (HR. Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqy, At-Thabrany, dan As-Syafi’i, Sohih)
Bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membolehkan hasad/iri kepada seseorang yang berbuat adil meskipun pada dasarnya hasad ialah perbuatan yang dilarang, beliau bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh hasad/iri kecuali terhadap dua: Seseorang yang diberikan harta oleh Allah akan tetapi dia habiskan untuk kebenaran, dan (hasad terhadap) seseorang yang diberikan hikmah (akal pikiran) oleh Allah, lalu dia pergunakan (hikmah itu) untuk berhukum (berlaku adil) dan mempraktekkannya.” (HR. Bukhari, no. 1409 dan Muslim no. 266)
Dan masih banyak tertuang dalam ayat suci Al-Qur’an dan Al-Hadits An-Nabawiyyah anjuran yang mengharuskan seorang muslim untuk berlaku adil, termasuk kebijakan, keputusan atau ucapan para khalifah setelah masa Kenabian, seperti yang diucapkan oleh Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq, Presiden kedua umat Islam saat khutbah pertama masa jabatannya,
أما بعد أيها الناس فإني قد وليت عليكم ولست بخيركم فإن أحسنت فأعينوني، وإن أسأت فقوموني. الصدق أمانة، والكذب خيانة، والضعيف منكم قوى عندي حتى أزيح علته إن شاء الله، والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ منه الحق إن شاء الله
“Saudara-saudara, hari ini kalian telah mempercayakan kepada saya sebagai pemimpin kalian meski saya bukanlah yang terbaik di antara kalian. jika saya bertindak benar, bantulah, tetapi jika saya bertindak salah luruskanlah. Kejujuran adalah kepercayaan dan kebohongan adalah penghianatan. (Kalangan) lemah diantara kalian ialah kuat (posisinya) di mata saya supaya kuambilkan hak baginya, (kalangan) kuat diantara kalian ialah lemah (posisinya) di mata saya supaya kuambilkan hak (orang lain) darinya, dengan ijin Allah.”[1]
Keadilan dalam Islam tidak terikat oleh lokasi dan zaman, praktik keadilan juga bisa berbeda di setiap situasi dan kondisi. Keadilan yang ditegakkan dalam bentuk apapun, itulah syariat Allah, Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata:
إن الله أرسل رسله، وأنزل كتبه ليقوم الناس بالقسط، وهو العدل الذي قامت به الأرض والسموات، فإذا ظهرت أمارت العدل، وأسفر وجهه بأي طريق كان فثم شرع الله ودينه
“Sungguh Allah mengutus para RasulNya menurunkan kitab-kitabNya supaya keadilan tegak diantara manusia, keadilan yang dengannya bumi dan langit berdiri, maka jika tampak tanda-tanda keadilan, bersinar wajahnya dengan jalan apapun, di situlah Syariat Allah dan agamaNya.” [2]
“Jika tampak tanda-tanda keadilan, bersinar wajahnya dengan jalan apapun, maka di situlah Syariat Allah dan agamaNya” Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah
Akan tetapi, manusia secara alami (fitrah) memiliki sifat yang condong melakukan kejahatan, menjauhi kebenaran, melewati batasan yang ditetapkan, menyerang yang lain, tamak terhadap apa yang tidak dimiliki, melarikan diri dari kewajiban, atau serampangan dalam mengambil haknya, Al Khatib As Syirbini berkata,
إن طباع البشر مجبولة على التظالم، ومنع الحقوق، وقل من ينصف نفسه
“Sesungguhnya manusia diciptakan secara alamiah condong untuk saling mendzolimi, saling menahan hak (milik), dan sedikit yang menyadari akan hakikat dirinya.” [3][4]
Keadilan dan Islam ibarat buah dan pohonnya, dua hal yang saling terikat satu sama lain, karena untuk keadilan-lah Islam diturunkan. Sedangkan manusia yang hidup hanya menggunakan hawa nafsu tanpa akal dan petunjuk Ilahi pasti memiliki tabiat yang condong menjauhi keadilan, sehingga harus merujuk kembali kepada aturan penciptanya, Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Referensi:
[1] Ibnu Katsir. Al-Bidayah Wa An-Nihayah. 1407 H/1986 M. As Syamilah – Darul Fikri. 5/248.
[2] Ibnu Qayyim. At-Thuruq Al-Hukmiyyah. As-Syamilah – Maktabah Darul Bayan. Hal. 14.
[3] Al-Khatib As-Syirbini. Mughni Al-Muhtaj. 1415 H/1994 M. As-Syamilah – Dar Al-Kutub Al-Ilmiah. 2/258.
[4] Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaili. Tarikh Al-Qadha. 1437 H/2016 M. Darul Fikri. Hal. 13.
Diterjemahkan dan diisusun di Universitas Islam Madinah, Kerajaan Arab Saudi, 28 Muharram 1441 H (27 September 2019 M)
Oleh: Iskandar Alukal L.c.
Artikel hukumpolitiksyariah.com
reliable canadian online pharmacy